Sabtu, 30 April 2011

Pasar Sengon sangat cerah

Penantian H Undang Syaefudin terbayar sudah. Mei 2008 ia memanen 3 ha sengon setelah menunggu 5 tahun. Populasi setiap hekar 600 pohon yang menjulang 16-20 m dan berdiameter 25 cm. Pekebun di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, itu sumringah lantaran rekeningnya kian gemuk. Ia mengantongi Rp211.750.000 dari penjualan kayu sengon.

Nilai itu berasal dari penjualan 270 m3 kayu gelondongan berdiameter minimal 19 cm. Harganya Rp650.000 per m3. Pekebun berusia 46 tahun itu juga menjual 50 m3 palet dengan harga Rp725.000 per m3. Dengan biaya perawatan setiap tahun rata-rata Rp1.200.000 per ha, Undang menangguk laba bersih Rp193.750.000. Itulah sebabnya menjelang musim hujan ini, ia mempersiapkan lahan 12 ha untuk penanaman sengon.

Bila Undang memanen semua pohon sengon alias tebang habis, Dian Hadiyanto memilih menjarangkan. Pekebun di Kawalu, Tasikmalaya, itu mengelola 4 ha masing-masing berpopulasi 600 pohon sengon. Pada Juni 2008, ia menjarangkan 150 pohon per ha sehingga tersisa 450 pohon sengon/ha. Pria 35 tahun itu memanen 250 m3 dari rata-rata tinggi pohon 19-20 m dan berdiameter 25 cm. Dengan harga jual Rp450.000 per m3, Dian mengantongi Rp112.500.000.Sisa pohon akan dipanen 2 tahun mendatang. Dian memprediksi memanen 300 m3 dari 450 pohon berumur 7 tahun pada 2010. Jika harga jual tetap, ia bakal memperoleh Rp135-juta atau Rp540-juta dari lahan 4 ha.

Di sentra sengon Pandeglang, Provinsi Banten, ada Asep Halimi yang

mewujudkan impian menghajikan 11 kerabatnya berangkat ke Mekah bersama. Pekebun di Citeureup, Kabupaten Pandeglang, itu mampu membiayai mereka lantaran baru saja memanen 10 ha sengon senilai Rp322-juta.
Populer
Dua tahun terakhir popularitas sengon memang meningkat. Padahal, ia dikenal sebagai kayu kelas 3. Penyebabnya? ‘Kerusakan hutan alam sangat parah. Laju degradasi 2,87-juta ha per tahun menyebabkan hutan tak mampu lagi menjadi pemasok kayu untuk bahan baku industri,’ kata Ridwan Achmad Pasaribu, periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

Menurut Dr Iskandar Zul Siregar, dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, pada 1990 tercatat 564 perusahaan hak pengusahaan hutandengan produksi 28-juta ton. Jumlahnya tersisa 247 perusahaan yang Menghasilk an 11-juta ton pada 2003. ‘Penebangan ilegal bisa 4 kali lipat dari total produksi itu,’ ujar Iskandar. Ketika luas hutan kian menyusut, di sisi lain justru, ‘Kebutuhan kayu sangat tinggi dan taktergantikan,’ ujar doktor Genetika Kehutanan dan Pemuliaan Tanaman alumnus Georg-August University, Goettingen, Jerman, itu. Ketika itulah masyarakat dan industri yang membutuhkan kayu melirik sengon. Kayu sengon memang tak sekeras jati. Namun, dengan perendaman dalam garam wolman, kayu sengon mampu bertahan 30-45 tahun. Garam wolman campuran 25% natrium fl uorida, 25% dinatrium hidrogen arsenat, 37,5% natrium kromat, 12,5% dinitro fenol. Teknologi lain untuk memperkuat sengon adalah biokomposit. Sengon yang tak sekuat jati dicampur dengan kayu lain sesuai dengan peruntukan.
Pantas bila sengon banyak dikebunkan di berbagai daerah seperti di Kabupaten Ciamis dan Kotamadya Banjar, Jawa Barat, Temanggung dan Banyumas (Jawa Tengah), serta Pasuruan dan Kediri (Jawa Timur).
Masyarakat berbondong-bondong mengebunkan sengon lantaran masa tebang relatif singkat 5-10 tahun. Bandingkan dengan masa tebang jati Tectona grandis yang mencapai 25-35 tahun.

Selain itu, ‘Pengelolaan budidaya sengon mudah, kesesuaian tumbuh tak sulit, kayunya serbaguna, dan memperbaiki kualitas serta kesuburan tanah,’ ujar Yana Sumarna MS, periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Itu juga disampaikan Sapari karyawan PT Waskita Karya-BUMN di bawah Departemen Pekerjaan Umum-yang mengebunkan sengon di Ngadirojo,Kecamatan Lorok, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Budidaya sengon itu mudah, risikonya tak terlalu besar, dan pasarnya ada,’ kata Sapari yang sebulan sekali pulang ke Pacitan untuk menengok kebun sengon. Bagi Sapari mengebunkan sengon adalah tabungan untuk pensiun kelak. Saat ini 1.200 sengon di ketinggian 450 m dpl berumur 3 tahun. Dua tahun lagi ketika pria 53 tahun itu pensiun, Sapari juga memanennya.

Sengonisasi
Sebelum pekebun ramai-ramai membudidayakan anggota famili Mimosaceae itu, Departemen Kehutanan meluncurkan program sengonisasi pada 1989. Tujuannya untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan serta lahan. Dari target 300.000 ha, realisasi penanaman hanya 35.039 ha. Perkebun yang mendapat benih gratis dalam program itu memanen sengon pada 1997-1998 ketika pohon berumur 7-8 tahun. Ikin Sodikin, pekebun di Kotamadya Banjar, Jawa Barat, memanen 5.500 pohon pada 1997 hasil program sengonisasi. Ia memperoleh 2.000 m3 kayu senilai Rp250-juta. Omzet menjulang itulah yang mendorong pria kelahiran 11 Januari 1954 getol mengebunkan sengon di lahan 50 ha. Ia tak menyangka bakal meraup pendapatan besar.
Persis yang dialami Shandy Lazuardi, pekebun di Cimanggis, Kotamadya Depok, Jawa Barat. Sepuluh tahun silam ia ‘iseng-iseng’ menanam 40 bibit sengon di lahan kritis. Ia praktis tak memberikan perawatan berarti hingga Paraserianthes falcataria itu tumbuh besar. Seorang pengepul yang kebetulan lewat kebun sengon terpikat dan langsung menawar. Jadilah, pohon itu ditebang oleh sang pengepul dan Lazuardi mengantongi Rp24-juta. Kisah selanjutnya mudah ditebak, alumnus Institut Pertanian Bogor itu memperluas penanaman sengon hingga 110.000 bibit. Tak semua pekebun menapaki jalan mulus seperti Undang Syaefudin, Dian Hadiyanto, dan Asep Halimi. Beragam rintangan menghadang pekebun sengon buat meraup laba. Peluang memetik laba besar bakal terhambat jika peke bun tak mengetahui informasi harga seperti dialami Zaenal Abidin. Mahasis wa pascasarjana Universitas Islam Negeri Gunungjati Bandung itu
pada pertengahan Juli 2008 memanen 1.000 pohon.
Dengan tinggi rata-rata 20 m dan berdiameter 30 cm, pohon-pohon itu meng hasilkan 800 m3. Pengepul cuma membayar total Rp25-juta. Artinya, guru Madrasah Ibdidaiyah itu menerima harga Rp31.250 per m3. Padahal saat ini harga sengon di tingkat pekebun mencapai Rp450.000 per m3. Meski demikian Zaenal Abidin tetap merasa untung. ‘Bibitnya tidak beli.
Biaya produksi rendah, paling hanya mencabuti gulma yang saya lakukan sendiri,’ ujar pekebun di Buniwati, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, itu.

Pasokan langka
Pengguna sengon juga menemukan hambatan berupa langkanya ketersediaan bahan. Itu dialami oleh PT Daya Sempurna Cellulosatama, produsen kertas di Bekasi, Jawa Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1976 itu memanfaatkan sengon sebagai bahan baku pulp. Kadar selulosa yang tinggi dan berserat panjang menyebabkan sengon bagus sebagai bahan baku kertas.

Menurut Gunawan Surya, direktur pabrik, saat ini sulit menerima pasokan sengon lantaran kayu itu banyak dibutuhkan beragam industri. Menurut Gunawan , Daya Sempurna Cellulosatama memerlukan 6.000 ton kayu sengon per bulan. Yang terpasok cuma 1.000 ton. Itulah sebabnya, ia menghentikan penggunaan sengon sebagai bahan baku. Dulu, pada 1983-1900-an, pasokan sengon ke Daya Sempurna Cellulosatama lancer lantaran industri perkayuan tak melirik sengon. Namun, ketika sengon kini menjadi primadona sulit memenuhi kebutuhan itu. Kendala lain adalah terbatasnya benih berkualitas. Padahal, benih menentukan mutu kayu. Anggapan bahwa sengon dapat ‘tumbuh sendiri’ tak sepenuhnya benar. Sebab, jika dibiarkan tumbuh tanpa perawatan berarti sengon menjadi incaran hama dan penyakit. Awal 2007 uret alias larva kumbang itu meluluhlantakkan 190 pohon milik Muhdiyono. Serangannya serempak, hingga pekebun di Karangwuni, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung, itu tak sempat menyelamatkan sengon-sengon berumur 2 bulan.

Tinggal telepon

Jika pekebun mampu melampaui berbagai aral, meraih laba besar sebuah keniscayaan. Pekebun tinggal menghubungi perusahaan penggergajian atau eksportir. ‘Menjadi pekebun sengon memang enak, cukup telepon kapan saja dan tinggal terima uang tanpa harus menebang,’ kata Amir Rosdiana. Pemilik CV Hasil Bumi itu biasa ‘menjemput’ kayu di lahan. Begitu mendapat telepon, Amir langsung ke lahan, mengukur lingkar pohon, dan memanjat pohon hingga 10 meter untuk memperoleh volume kayu. ‘Pohon yang memiliki lingkar batang 1,2 meter biasanya mencapai 1 m3,’ kata Amir.Itu artinya ia mesti membayar Rp450.000. Jika kayunya sempurna, lurus,tak cacat akibat dimakan ulat, harganya melambung Rp800.000 per pohon.
Itu bersih diterima pekebun, tanpa potongan apa pun. Amir mengolah kayu sengon menjadi palet alias papan tipis berukuran 206 cm x 5,2 cm x 25 cm. Setiap pekan ia memproduksi 270 palet untuk memenuhi permintaan perusahaan di Jakarta dan Surabaya. Palet hanya salah satu bentuk pemanfaatan sengon. Sayang, Amir baru dapat menjemput kayu di kawasan Priangan Timur-Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut. Pekebun di luar tanah Priangan tak perlu khawatir. Masih banyak penampung sengon. Beberapa di antaranya adalah PT Bina Inti Lesatri, PT Bineatama Kayone Lestari, PT Dharma Satya Nusantara, PT Kutai Timber Indonesia, dan PT Sumber Graha Sejahtera (baca: Mudahnya Jual Kayu Sengon halaman 28).

Menurut Ir Himawan Rahardjo dari PT Dharma Satya Nusantara Temanggung, sengon kayu multiguna. Kayu pohon asal Maluku itu antara lain berfaedah sebagai bahan bangunan, lantai, dan pintu. Dharma Satya Nusantara Temanggung memproduksi 5.000 m3 kayulapis per bulan. Kebutuhan bahan baku mencapai 5.000 m3 log dan 10.000 m3 sawntimber. Perusahaan yang mempekerjakan 2.000 karyawan itu memerlukan 600.000 pohon berdiameter rata-rata 25-30 cm setara 600 ha per bulan.

Himawan Rahardjo bakal meningkatkan produksi 2 kali lipat pada 2009; meningkat 5 kali lipat, lima tahun ke depan. Artinya, kebutuhan bahan baku juga bakal melonjak. Kesinambungan produksi DSN tergantung antara lain kepada produksi pekebun di Magelang, Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo. Maklum, perusahaan itu tak mengelola perkebunan sendiri.
Perusahaan di Temanggung, Jawa Tengah, itu mengekspor hasil olahan sengon ke Taiwan, Singapura, Jepang, Inggris, Belanda, dan Australia.
Jika memperhitungkan kebutuhan kelompok Dharma Satya Nusantara yang terdiri atas 4 perusahaan-3 lainnya di Bekasi, Gresik, dan Surabaya-kebutuhan sengon bakal melonjak. Grup Dharma Satya Nusantara memproduksi total 250.000 m3 lumber core alias papan laminating berukuran 204 cm x 102 cm x 3-5 cm, 300.000 m3 papan blok, 100.000 m3 kayu lapis, 200.000 pintu, dan 500.000 m2 lantai per tahun-semua berbahan baku sengon. Perusahaan yang berdiri pada 29 September 1980 itu semula mengandalkan hutan alam di Kalimantan. Pada 1988 perusahaan itu pindah ke Jawa. ‘Tak bisa selamanya mengandalkan kayu alam,’ kata Suyono M Raharjo dari Dharma Satya Nusantara Surabaya.

Makin Luas

Yang berteriak kekurangan bahan baku bukan cuma grup DSN. PT Bu Jeon, produsen finger joint, juga kekurangan pasokan. Menurut Hendro Aluan, bagian ekspor Bu Jeon, finger joint lembaran kayu setebal 3 cm, bersambungan di ujung yang bergerigi, mirip jari. Faedahnya sebagai bahan baku meja, komponen pintu, dan kerajinan tangan. Di pasaran internasional harga finger joint US$400-US$415 per m3. Dari kebutuhan 1.200-1.400 m3 balok kayu sengon per bulan, ‘Hanya 600 m3 yang dapat terpenuhi,’ ujar Hendro.
Permintaan pasar internasional terhadap sengon yang terus meningkat sebagai bentuk apresiasi terhadap kayu budidaya. Dunia mengharapkan hutan Indonesia tetap lestari sehingga kayu sengon hasil budidaya sebagai alternatif. Pantas permintaan kayu olahan sengon terus melambung.

Lihatlah PT Bineatama Kayone Lestari pada 1993-ketika awal berdiri-Cuma mengekspor 5 kontainer barecore berbahan sengon sebulan. Kini, hampir 2 windu berselang, Taiwan meminta rutin 150 kontainer barecore per bulan. Itu di luar permintaan Timur Tengah 10 kontainer per bulan.

Di pasaran internasional harga barecore US$220 setara Rp1,98-juta per m3. Barecore adalah papan berukuran 1,2 m x 2,4 m. Ketebalannya 10 mm dan 13 mm. Menurut Edo Wijaya dari PT Bineatama Kayone Lestari, kebutuhan bahan baku untuk memproduksi 150 kontainer barecore mencapai 14.000 m3. Taiwan juga meminta 50.000 m3 sawntimber, tetapi baru terpasok 8.000 m3.

Gegap gempita industri pengolahan sengon itu berimbas di hulu. Para pekebun beramai-ramai membudidayakan kerabat petai itu. Selain lantaran pangsa pasar besar, harga jual juga terus membaik. Menurut Heru Jhudiarto, direktur muda Penanaman dan Lingkungan PT Kutai Timber Indonesia, harga sengon 6 tahun lalu Rp180.000 sekarang Rp670.000 perm3.
Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban memprediksi harga sengon bakal meningkat. ‘Harga sengon akan terus meningkat hingga harga rasional yaitu masih lebih murah dibandingkan harga kayu asal hutan alam. Sekitar 4-5 tahun lagi kira-kira Rp1- juta per kubik. Industri tak akan bermain-main dengan harga itu karena permintaan ekspor sangat tinggi,’ katanya.

Pantas jika Habib Abdul Qodir Alhamid, pemilik pondok pesantren di Maron, Probolinggo, mengkoordinir penanaman sengon hingga 3.200 ha. Begitu juga dengan PT National Plantation yang mengebunkan 800 ha diTulungagung, Jawa Timur. Menurut komisaris National Plantation Radius Muntu, varietas yang dikebunkan adalah solomon yang kini umurnya baru 10 bulan. Kutai Timber Indonesia (KTI) memilih bermitra dengan para pekebun. Setiap tahun KTI memperluas lahan rata-rata 1.000 ha. Hendri Setiawan juga bermitra dengan pekebun untuk mengembangkan 130 ha sengon di Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemudahan memasarkan menjadi daya tarik bagi pekebun.

Jangankan menjual ratusan atau puluhan pohon, ketika memerlukan ‘dana segar’ untuk membayar SPP anaknya, Mukidi cuma menjual 2 pohon berumur 6 tahun berdiameter 20 cm. ‘Sengon seperti ATM (anjungan tunai mandiri, red) berjalan,’ kata pekebun di Temanggung, Jawa Tengah, kelahiran 26 Juni 1960 itu. Laba sengon di depan mata. Mau? (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha Helmina, Faiz Yajri, Nesia Artdiyasa, Niken Anggrek Wulan, Tri Susanti, & Vina Fitriani)

Sumber : Majalah TRUBUS bulan Agustus 2008

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews